Shalat Jum’at


a. Hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at wajib bagi kaum lelaki, yaitu sebanyak dua rakaat. Adapun dalil tentangnya adalah sebagai berikut:

  1. Firman Allah Subhanahu waTa’ala:
    “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka ber-segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9)

  2. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai.” (HR. Muslim)
  3. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Sungguh aku berniat menyuruh seseorang (menjadi imam) shalat bersama-sama yang lain, kemudian aku akan membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)

  4. Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksana-kan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)

  5. Ijma’ para ulama. Para ulama telah sepakat bahwa shalat Jum’at itu wajib hukumnya.



b. Keutamaan Hari Jum’at
Hari Jum’at adalah hari yang penuh keberkahan, mempunyai kedudukan yang agung dan merupakan hari yang paling utama. Rasulullah shallallaahu alaihi wasallambersabda:“Sebaik-baik hari adalah hari Jum’at, pada hari itulah diciptakan Nabi Adam, dan pada hari itu dia diturunkan ke bumi, pada hari itu pula diterima taubatnya, pada hari itu pula beliau diwafatkan, dan pada hari itu pula terjadi Kiamat … Pada hari itu ada saat yang kalau seorang muslim menemuinya kemudian shalat dan memohon segala keperluannya kepada Allah, niscaya akan dikabulkan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan lainnya, hadits shahih)

c. Hal-Hal Yang Disunnahkan Serta Beberapa Adab Hari Jum’at

  1. Mandi, berpakaian yang rapi, memakai wangi-wangian dan bersiwak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Mandi hari Jum’at itu wajib bagi tiap muslim yang telah baligh.” (Muttafaq ‘alaih)
    Sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Mandi, memakai siwak, mengusapkan parfum sebisa-nya pada hari Jum’at dianjurkan pada setiap laki-laki yang telah baligh.” (Muttafaq ‘alaih)
    Dan sabda beliau shallallaahu alaihi wasallam yang lain:
    “Apa yang menghalangi salah seorang di antara kamu jika dia mempunyai kesempatan untuk memakai dua pakaian (baju dan sarung) selain pakaian kerjanya pada hari Jum’at.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, shahih)
    Juga sabda beliau shallallaahu alaihi wasallam tentang hari Jum’at:
    “Hak setiap muslim adalah siwak, mandi Jum’at dan memakai minyak wangi dari rumah jika ada.” (HR. Al-Bazzar, shahih)

  2. Lebih awal pergi ke masjid untuk shalat Jum’at, yaitu beberapa saat sebelumnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi jinabat, kemudian dia pergi ke masjid pada saat pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan se-ekor unta dan siapa yang berangkat pada saat kedua, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi, dan siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang mempunyai tanduk, dan siapa yang berangkat pada saat keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam, dan siapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah dia berkurban dengan sebutir telur, dan apabila imam telah datang, maka malaikat ikut hadir mende-ngarkan khutbah.”(Muttafaq ‘alaih)

  3. Melakukan shalat-shalat sunnah di masjid sebelum shalat Jum’at selama imam belum datang. Apabila imam telah datang, maka berhenti dari itu kecuali shalattahiyyatul masjid tetap boleh dikerjakan meskipun imam sedang berkhutbah tetapi hendaknya dipercepat. Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda:
    “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci sebisa mungkin, kemudian dia memakai wangi-wangian atau memakai minyak wangi, lalu pergi ke masjid dan (di sana) tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk berjajar), kemudian dia shalat yang disunnahkan baginya, dan dia diam apabila imam telah berkhutbah, terkecuali akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at (itu) dan Jum’at berikutnya selama dia tidak berbuat dosa besar.” (HR. Al-Bukhari)

  4. Makruh melangkahi pundak-pundak orang yang sedang duduk dan memisahkan (menggeser) mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, ketika beliau melihat seseorang yang melangkahi pundak orang-orang:
    “Duduklah, sesungguhnya kamu telah mengganggu orang lain, lagi pula kamu datang terlambat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits shahih)
    Dan juga berdasarkan hadits sebelumnya yang bunyi-nya:
    “… Dan tidak memisahkan antara dua orang… niscaya akan diampuni segala dosanya dari Jum’at (itu) ke Jum’at berikutnya.”

  5. Berhenti dari segala pembicaraan dan perbuatan sia-sia –seperti memain-mainkan kerikil– apabila imam telah datang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Apabila kamu berkata kepada temanmu ‘diamlah’, ketika imam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, maka sesungguhnya kamu telah berbuat sia-sia.” (Muttafaq ‘alaih)

  6. Diharamkan transaksi jual beli ketika adzan sudah mulai berkumandang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Hai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah mengingat Allah dan tinggalkan jual beli.” (Al-Jumu’ah: 9)

  7. Hendaklah memperbanyak membaca shalawat serta salam kepada Rasulullahshallallaahu alaihi wasallam pada malam Jum’at dan siang harinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku pada hari Jum’at, sesungguhnya tidak seorang pun yang membaca shalawat kepadaku pada hari Jum’at kecuali diperlihatkan kepadaku shalawatnya itu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
    Sabda beliau yang lain:
    “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at, maka barangsiapa bersha-lawat kepadaku sekali, niscaya Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Al-Baihaqi, hadits hasan)

  8. Disunnahkan membaca surat Al-Kahfi. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullahshallallaahu alaihi wasallam:
    “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka dia akan mendapat cahaya yang terang di antara kedua Jum’at itu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

  9. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a untuk men-dapatkan waktu yang mustajab(dikabulkannya do’a). Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Sesungguhnya pada hari Jum’at ada saat yang apabila seorang hamba muslim mendapatinya sedang dia dalam keadaan shalat dan memohon kebaikan kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkannya.” (HR. Muslim)
    Dan saat istijabah itu ialah pada akhir waktu hari Jum’at. Ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
    “Hari Jum’at terdiri dari dua belas waktu, di antaranya ada waktu dimana tidak seorang hamba muslim pun yang meminta kepada Allah suatu permintaan terkecuali akan diberikan kepadanya, maka hendaklah kalian mencarinya pada waktu terakhir yaitu setelah Ashar.” (HR. Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim, hadits shahih)
    Dalam hadits lain disebutkan:
    “Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,’Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baik hari, dimana matahari terbit di dalam-nya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu pula dia diturunkan ke bumi, pada hari itu pula diterima taubatnya, pada hari itu pula dia wafat, pada hari itu pula kiamat akan terjadi dan tidak ada makhluk yang melata di muka bumi kecuali menunggu hari Kiamat itu dari waktu Subuh hari Jum’at sampai terbit matahari, karena takut pada hari Kiamat terkecuali jin dan manusia. Di dalamnya ada satu saat yang apabila seorang hamba muslim menemuinya sedang dia dalam keadaan shalat dan memohon kepada Allah suatu kebutuhan, niscaya akan dikabulkan permohonannya.’ Ka’ab berkata, ‘Yang demikian itu hanya ada satu hari dalam setahun?’ Aku berkata, ‘Bahkan pada setiap hari Jum’at.’ Berkata Abu Hurairah, ‘Maka Ka’ab membaca Taurat, kemudian berkata, ‘Benarlah perkataan Nabi shallallaahu alaihi wasallam itu.’ Abu Hurairah berkata, ‘Kemudian aku bertemu Abdullah Ibnu Salam, lalu aku ceritakan apa yang men-jadi pembicaraanku dengan Ka’ab, maka dia berkata, ‘Aku telah mengetahui kapan saat itu.’ Abu Hurairah berkata, ‘Aku katakan kepadanya, ‘Beritahukan kepada-ku hal itu.’ Abdullah bin Salam berkata, ‘Waktunya adal-ah saat terakhir dari hari Jum’at,’ Aku katakan kepada-nya, ‘Bagaimana mungkin padahal Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam telah bersabda, ‘Tidak seorang hamba muslim pun yang men-dapatinya sedang ia dalam keadaan shalat, dan pada waktu itu (setelah Ashar) tidak boleh shalat. Berkatalah Abdullah bin Salam, ‘Bukankah Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam telah ber-sabda, ‘Barangsiapa duduk pada suatu tempat sambil menunggu (waktu) shalat, maka dia dianggap dalam keadaan shalat sampai dia melaksanakan shalat,’ Aku katakan, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Itulah maksudnya’.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai, hadits shahih)
    Dikatakan pula bahwa saat tersebut adalah sejak duduk-nya imam di atas mimbar hingga usainya pelaksanaan shalat.



d. Syarat-syarat Kewajiban Shalat Jum’at
Shalat Jum’at diwajibkan atas setiap muslim, laki-laki yang merdeka, sudah mukallaf, sehat badan serta muqim (bukan dalam keadaan musafir). Ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam:
“Shalat Jum’at itu wajib atas setiap muslim, dilaksana-kan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
Adapun bagi orang yang musafir, maka tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at, sebab Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam pernah melakukan perjalanan untuk menunaikan haji, dan ber-tempur, namun tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau melaksanakan shalat Jum’at.
Dan dalam sebuah atsar disebutkan, bahwa Amirul Mukminin Umar Ibnul Khattabradhiallaahu anhu melihat seseorang yang terlihat akan melakukan perjalanan, kemudian beliau mendengar ucapannya, ‘Seandainya hari ini bukan hari Jum’at, niscaya aku akan bepergian.’ Maka Khalifah Umar berkata, ‘Silakan Anda pergi, sesungguhnya shalat Jum’at itu tidak menghalangimu dari bepergian.’

e. Syarat-syarat Sahnya Shalat Jum’at
Untuk sahnya shalat Jum’at itu ada beberapa syarat, yaitu sebagai berikut:
  1. Dilaksanakan di suatu perkampungan atau kota, karena di zaman Rasulullah r tidak pernah dilaksanakan terkecuali di perkampungan atau di kota. Dan beliau shallallaahu alaihi wasallam tidak pernah menyuruh penduduk dusun (orang peda-laman) untuk melaksanakannya. Dan tidak pernah disebut-kan bahwa ketika bepergian beliau melaksanakan shalat Jum’at.

  2. Meliputi dua khutbah. Ini berdasarkan pada per-buatan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam dan kebiasaan beliau (dalam melak-sanakannya). Juga dikarenakan khutbah merupakan salah satu manfaat yang sangat besar dari pelaksanaan shalat Jum’at. Karena ia mengandung dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, peringatan terhadap kaum muslimin serta nasehat bagi mereka.



f. Tata Cara Shalat Jum’at
Adapun tata cara pelaksanaan shalat Jum’at, yaitu imam naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari, kemudian memberi salam. Apabila ia sudah duduk, maka muadzin melaksanakan adzan sebagaimana halnya adzan Dhuhur. Dan apabila selesai adzan, berdirilah imam untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalahdan pujian kepada Allah Subhanahu waTa’ala serta membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam. Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan Allah Subhanahu waTa’ala serta ancaman-ancaman Allah Subhanahu waTa’ala. Kemudian duduk sebentar, lalu memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama dan dengan suara yang layaknya seperti suara seorang komandan pasukan perang, sampai selesai tanpa perlu berpanjang lebar, kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamah untuk melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan, dan sebaiknya surat yang dibaca pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah adalah surat Al-A’la dan pada rakaat kedua surat Al-Ghasyiah, atau pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah surat Al-Jumu’ah dan pada rakaat kedua surat Al-Muna-fiqun. Dan jika dia membaca surat yang lain juga tidak apa-apa.

g. Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Jum’at
Dianjurkan shalat sunnah sebelum pelaksanaan shalat Jum’at semampunya sampai imam naik ke mimbar, karena pada waktu itu tidak dianjurkan lagi shalat sunnah, kecuali shalat tahiyatul masjid bagi orang yang (terlambat) masuk ke dalam masjid. Dalam hal ini shalat tetap boleh dilaksana-kan sekali pun imam sedang berkhutbah dengan catatan mempercepat pelaksanaannya sebagaimana diterangkan di atas disertai dengan dalilnya.
Adapun setelah shalat Jum’at, maka disunnahkan shalat empat rakaat atau dua rakaat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam :
“Barangsiapa di antara kamu ingin shalat setelah Jum’at, maka hendaklah shalat empat rakaat.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma disebutkan:
“Bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam shalat setelah shalat Jum’at dua rakaat di rumah beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
Sebagai pengamalan hadits-hadits ini, sebagian ulama mengatakan bahwa seorang muslim apabila ingin shalat sunnah setelah Jum’at di masjid, maka dia shalat empat rakaat dan apabila dia shalat di rumah, maka dia shalat dua rakaat.

Read more »

SHOLAT BERJAMA'AH

Shalat Berjama’ah


a. Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu , ia berkata,Telah datang kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim)
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: ‘Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu’.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Abu Darda’ radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama’ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senan-tiasa bersama jama’ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, haditshasan )
“Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)
“Dari Ibnu Mas’ud radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya.” (HR. Muslim)
b. Keutamaan Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
“Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma , bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat berjama’ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,’Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, ‘Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendi-rian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.’ Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci’.” (Muttafaq ‘alaih)
c. Berjama’ah dapat dilaksanakan sekalipun dengan seorang makmum dan seorang imam
Shalat berjama’ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau perempuan. Dan semakin banyak jumlah jama’ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhuma , ia berkata, ‘Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah (salah satu istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam), kemudian Nabi shallallaahu alaihi wasallam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di samping kanannya’.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallaahu anhuma, keduanya berkata, ‘Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa ba-ngun di waktu malam hari kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama’ah, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah’.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallaahu anhu, ‘Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sudah shalat bersama para sahabatnya, maka beliau pun bersabda, ‘Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya shalat.’ Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)
“Dari Ubay bin Ka’ab radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama’ah) semakin disukai oleh Allah Ta’ala’.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan)

Hadirnya Wanita Di Masjid dan Keutamaan Shalat Wanita Di Rumahnya
Para wanita boleh pergi ke masjid dan ikut melaksanakan shalat berjama’ah dengan syarat menghindarkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menim-bulkan fitnah, seperti mengenakan perhiasan dan menggu-nakan wangi-wangian. Rasulullahshallallaahu alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak me-makai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)
Dan beliau juga bersabda:
“Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, maka janganlah dia ikut shalat Isya’ berjama’ah bersama kami.” (HR. Muslim)
Pada kesempatan lain, beliau juga bersabda:
“Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian dia pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga dia mandi.” (HR. Ibnu Majah, hadits shahih)
Beliau juga bersabda:
“Jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
Dalam sabdanya yang lain:
“Shalat seorang wanita di salah satu ruangan rumahnya lebih utama daripada di bagian tengah rumahnya dan shalatnya di kamar (pribadi)-nya lebih utama daripada (ruangan lain) di rumahnya.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)
Beliau bersabda pula:
“Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

Read more »

TATA CARA SHOLAT

Tata Cara Shalat


1. Seorang muslim yang hendak melakukan shalat hendaklah berdiri tegak setelah masuk waktu shalat dalam keadaan suci dan menutup aurat serta menghadap kiblat dengan seluruh anggota badannya tanpa miring atau menoleh ke kiri dan ke kanan.
2. Kemudian berniat untuk melakukan shalat yang ia mak-sudkan di dalam hatinya tanpa diucapkan.
3. Kemudian melakukan takbiratul ihram, yaitu membaca Allahu Akbarsambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya ketika takbir.
4. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada atau di bawahnya, tetapi di atas pusar.
5. Kemudian membaca do’a iftitah, ta’awwudz (a’udzu billahi minasy syaithanirrajim) dan basmalah, kemudian membaca Al-Fatihah dan apabila sampai pada bacaan dia membaca aamiin.
6. Kemudian membaca salah satu surat atau apa yang mudah baginya di antara ayat-ayat Al-Qur’an.
7. Kemudian mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahunya lalu ruku’ sambil mengucapkan Allahu Akbar selanjutnya memegang dua lutut dengan kedua tapak tangan dengan meratakan tulang punggung, tidak me-ngangkat kepalanya juga tidak terlalu membungkuk-kannya, dan jari-jari tangannya hendaknya dalam ke-adaan terbuka.
8. Pada saat ruku’, membaca “Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung”tiga kali atau lebih.
9. Kemudian bangkit dari ruku’ seraya mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahu sambil membaca “Allah Maha Mendengar orang yang memujiNya” sehingga tegak berdiri dalam keadaan i’tidal, kemudian membaca:
“Wahai Rabb kami, bagiMu segala puji, (aku memuji-Mu) dengan pujian yang banyak, baik dan penuh dengan keberkahan di dalamnya.”
10. Kemudian sujud sambil mengucapkan Allahu Akbar, lalu sujud bertumpu pada tujuh anggota sujud, yaitu dahi (yang termasuk di dalamnya) hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung dua tapak kaki. Hendaknya diperhatikan agar dahi dan hidung betul-betul mengenai lantai, serta merenggangkan bagian atas lengannya dari samping badannya dan tidak meletakkan lengannya (hastanya) ke lantai dan mengarahkan ujung jari-jarinya ke arah kiblat.
11. Membaca “Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi” tiga kali atau lebih dalam sujud.
12. Bangkit dari sujud sambil mengucapkan Allahu Akbar, kemudian duduk iftirasy, yaitu bertumpu pada kaki kiri dan duduk di atasnya sambil menegakkan telapak kaki kanan seraya membaca: “Wahai Rabbku ampunilah aku, rahmatilah, berikanlah petunjuk dan rezki kepadaku.”
13. Kemudian sujud lagi seperti di atas, lalu bangkit untuk melaksanakan rakaat kedua sambil bertakbir. Kemu-dian melakukan seperti pada rakaat pertama, hanya saja tanpa membaca do’a iftitah lagi. Apabila telah menye-lesaikan rakaat kedua hendaknya duduk untuk melak-sanakan tasyahhud. Apabila shalatnya hanya dua rakaat saja seperti shalat Subuh, maka membaca tasyahhud kemudian membaca shalawat Nabi shallallaahu alaihi wasallam, lalu langsung salam, dengan mengucapkan:
“Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah bagimu.” Sambil menoleh ke kanan, kemudian mengucapkan salam lagi sambil menoleh ke kiri.
14. Jika shalat itu termasuk shalat yang lebih dari dua rakaat, maka berhenti ketika selesai membaca tasyahhud awwal, yaitu pada ucapan:
“Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.”
Kemudian bangkit berdiri sambil mengucapkan takbir dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahu, lalu mengerjakan rakaat berikutnya seperti rakaat sebelumnya, hanya saja terbatas pada bacaan surat Al-Fatihah saja.
15. Kemudian duduk tawarruk, yaitu dengan menegakkan telapak kaki kanan dan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan, kemudian mendudukkan pantat di lantai serta meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Lalu membaca tasyahhud, membaca shalawat kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam dan meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari empat perkara berikut:
1. “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa api Neraka, siksa kubur, fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”

2. Kemudian mengucapkan salam dengan suara yang jelas sambil menoleh ke kanan, lalu mengucapkan salam kedua sambil menoleh ke kiri.

Read more »

SUJUD SAHWI

Sujud Sahwi

Sujud sahwi ialah sujud yang dilakukan orang yang shalat sebanyak dua kali untuk menutup kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan shalat yang disebabkan lupa.
Sebab-sebab sujud sahwi ada tiga; Karena kelebihan, karena kurang, dan karena ragu-ragu. Keterangannya sebagai berikut:
a. Sujud Sahwi Karena Kelebihan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya kemudian dia menambah ruku’, atau sujud, maka dia harus sujud dua kali sesudah menyelesaikan shalatnya dan salamnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
“Dari Ibnu Mas’ud radhiallaahu anhu, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam shalat Dhuhur lima rakaat, kemudian beliau ditanya, ‘Apakah shalat Dhuhur ditambah rakaatnya?’, beliau balik bertanya, ‘Apa itu?’ Para sahabat menjelaskan, ‘Anda shalat lima rakaat.’ Kemudian beliau pun sujud dua kali setelah salam. Dalam riwayat lain disebutkan, beliau melipat kedua kakinya dan menghadap kiblat kemudian sujud dua kali, kemudian salam.” (Muttafaq ‘alaih)
Salam sebelum shalat selesai berarti termasuk kele-bihan dalam shalat, sebab ia telah menambah salam di pertengahan pelaksanaan shalat. Barangsiapa mengalami hal itu dalam keadaan lupa, lalu dia ingat beberapa saat setelahnya, maka dia harus menyempurnakan shalatnya kemudian salam, setelah itu dia sujud sahwi, kemudian salam lagi. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallaahu anhu:
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam shalat Dhuhur atau Ashar bersama para sahabat. Beliau salam setelah shalat dua rakaat, kemudian orang-orang yang bergegas keluar dari pintu masjid berkata, ‘Shalat telah diqashar (dikurangi)?’ Nabi pun berdiri untuk bersandar pada sebuah kayu, sepertinya beliau marah. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda lupa atau memang shalat telah diqashar?.’ Nabi berkata, ‘Aku tidak lupa dan shalat pun tidak diqashar.’ Laki-laki itu kembali berkata, ‘Kalau begitu Anda memang lupa wahai Rasulullah.’ Nabi shallallaahu alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, ‘Benarkah apa yang dikatakannya?’. Mereka pun menga-takan, ‘Benar.’ Maka majulah Nabi shallallaahu alaihi wasallam, selanjutnya beliau shalat untuk melengkapi kekurangan tadi, kemudian salam, lalu sujud dua kali, dan salam lagi.” (Muttafaq ‘alaih)
b. Sujud Sahwi Karena Kekurangan
Barangsiapa kelupaan dalam shalatnya, kemudian ia meninggalkan salah satu sunnah muakkadah (yaitu yang termasuk katagori hal-hal wajib dalam shalat), maka ia harus sujud sahwi sebelum salam, seperti misalnya kelupaan melakukan tasyahhud awal dan dia tidak ingat sama sekali, atau dia ingat setelah berdiri tegak dengan sempurna, maka dia tidak perlu duduk kembali, cukup baginya sujud sahwi sebelum salam. Dalilnya ialah hadits berikut:
“Dari Abdullah bin Buhainah radhiallaahu anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam shalat Dhuhur bersama mereka, beliau langsung berdiri setelah dua rakaat pertama dan tidak duduk. Para jama’ah pun tetap mengikuti beliau sampai beliau selesai menyempurnakan shalat, orang-orang pun menunggu salam beliau, akan tetapi beliau malah bertakbir padahal beliau dalam keadaan duduk (tasyahhud akhir), kemu-dian beliau sujud dua kali sebelum salam, lalu salam.” (Muttafaq ‘alaih)
c. Sujud Sahwi Karena Ragu-ragu
Yaitu ragu-ragu antara dua hal, yang mana yang terjadi. Keragu-raguan terdapat dalam dua hal, yaitu antara ke-lebihan atau kurang. Umpamanya seseorang ragu apakah dia sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat.
Keraguan ini ada dua macam:
1. Seseorang lebih cenderung kepada satu hal, baik kelebihan atau kurang, maka dia harus menurutkan mengambil sikap kepada yang lebih ia yakini, kemudian dia melakukan sujud sahwi setelah salam. Dalilnya hadits berikut:
“Dari Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallaahu anhu, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kamu ada yang ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah lebih memilih kepada yang paling mendekati kebenaran, kemudian menyempurnakan shalatnya, lalu melakukan salam, selanjutnya sujud dua kali’.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Ragu-ragu antara dua hal, dan tidak condong pada salah satunya, tidak kepada kelebihan dalam pelaksanaan shalat dan tidak pula pada kekurangan. Maka dia harus mengambil sikap kepada hal yang sudah pasti akan kebe-narannya, yaitu jumlah rakaat yang lebih sedikit. Kemudian menutupi kekurangan tersebut, lalu sujud dua kali sebelum salam, ini berdasarkan hadits berikut:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallaahu anhu, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, dia tidak tahu berapa rakaat yang sudah ia lakukan, tigakah atau empat? Maka hendaknya ia meninggalkan keraguan itu dan mengambil apa yang ia yakini, kemudian ia sujud dua kali sebelum salam. Jika ia telah shalat lima rakaat, maka hal itu menggenap-kan pelaksanaan shalatnya, dan jika ia shalat sempurna empat rakaat, maka hal itu merupakan penghinaan (pengecewaan) terhadap syaitan’.” (HR. Muslim)
Ringkasnya, bahwa sujud sahwi itu adakalanya sebelum salam dan adakalanya sesudah salam.
Adapun sujud sahwi yang dilakukan setelah salam ialah pada dua kondisi:
1. Apabila karena kelebihan (dalam pelaksanaan shalat).
2. Apabila karena ragu antara dua kemungkinan, tapi ada kecondongan pada salah satunya.
Sedangkan sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam, juga pada dua kondisi:
1. Apabila dikarenakan kurang (dalam pelaksanaan shalat).
2. Apabila dikarenakan ragu antara dua kemungkinan dan tidak merasa lebih berat kepada salah satunya.
Hal-hal Penting Berkenaan Dengan Sujud Sahwi
1. Apabila seseorang meninggalkan salah satu rukun shalat, dan yang tertinggal itu adalah takbiratul ihram, maka shalatnya tidak terhitung, baik hal itu terjadi secara sengaja ataupun karena lupa, karena shalatnya tidak sah. Dan jika yang tertinggal itu selain takbiratul ihram, dan ditinggalkan secara sengaja, maka batallah shalatnya. Jika tertinggal secara tidak sengaja, dan dia sudah berada pada rukun yang ketinggalan tersebut pada rakaat kedua, maka rakaat yang ketinggalan ru-kunnya tadi itu dianggap tidak ada, dan dia ganti dengan rakaat yang berikutnya. Dan jika ia belum sampai pada rakaat kedua, maka ia wajib kembali kepada rukun yang ketinggalan tersebut, kemudian dia kerjakan rukun itu, begitu pula apa-apa yang setelah itu. Pada kedua hal ini, wajib dia melakukan sujud sahwi setelah salam atau sebelumnya
2. Apabila sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka harus pula melakukan salam sekali lagi.
3. Apabila seseorang yang melakukan shalat meninggal-kan sunnah muakkadah (hal-hal yang wajib dalam shalat) secara sengaja, maka batallah shalatnya. Jika ketinggalan karena lupa, kemudian dia ingat sebelum beranjak dari sunnah muakkadah tersebut, maka hendaklah dia melaksanakannya dan tidak ada konsekwensi apa-apa. Jika ia ingat setelah melewatinya tapi belum sampai kepada rukun berikutnya, maka hendak-lah dia kembali untuk melaksanakan rukun tersebut. Kemudian dia sempurnakan shalatnya serta melakukan salam. Selanjutnya sujud sahwi kemudian salam lagi. Jika ia ingat setelah sampai kepada rukun yang berikut-nya, maka sunnah (muakkadah) itu gugur dan dia tidak perlu kembali kepadanya untuk melakukannya, akan tetapi terus melaksanakan shalatnya kemudian sujud sahwisebelum salam seperti kami sebutkan di atas pada masalah tasyahhud awal.

Read more »

Makruh Dalam Sholat

Hal-hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat
1. Menengadahkan pandangan ke atas. Hal ini ber-dasarkan sabda RasulullahShallallaahu alaihi wasallam:
“Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat peng-lihatan mereka ke langit dalam shalat mereka? Hendak-lah mereka berhenti dari hal itu atau (kalau tidak), nis-caya akan tersambar penglihatan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dengan makna yang sama)
2. Meletakkan tangan di pinggang. Hal ini berdasar-kan larangan RasulullahShallallaahu alaihi wasallam meletakkan tangan di pinggang ketika shalat. (Muttafaq ‘alaih)
3. Menoleh atau melirik, terkecuali apabila diperlukan. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah radhiallaahu anha. Aku ber-tanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam tentang seseorang yang me-noleh dalam keadaan shalat, beliau menjawab:
“Itu adalah pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Daud, lafazh ini dari riwayatnya)
4. Melakukan pekerjaan yang sia-sia, serta segala yang membuat orang lalai dalam shalatnya atau menghilangkan kekhusyu’an shalatnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Hendaklah kamu tenang dalam melaksanakan shalat.” (HR. Muslim)
5. Menaikkan rambut yang terurai atau melipatkan lengah baju yang terulur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak boleh melipat baju atau menaikkan rambut (yang terulur).” (Muttafaq ‘alaih)
6. Menyapu kerikil yang ada di tempat sujud (dengan tangan) dan meratakan tanah lebih dari sekali. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Dari Mu’aiqib, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam menyebutkan tentang menyapu di masjid (ketika shalat), maksudnya menyapu kerikil (dengan telapak tangan). Beliau bersabda, ‘Apabila memang harus berbuat begitu, maka hendaklah sekali saja’.” (HR. Muslim)
“Dari Mu’aiqib pula, bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda tentang seseorang yang meratakan tanah pada tempat sujudnya (dengan telapak tangan), beliau bersabda, ‘Kalau kamu melakukannya, maka hendaklah sekali saja’.” (Muttafaq ‘alaih)
7. Mengulurkan pakaian sampai mengenai lantai dan menutup mulut (tanpa alasan).
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam melarang mengulurkan pakaian sampai mengenai lantai dalam shalat dan menutup mulut.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)
Adapun jika menutup mulut karena hal seperti menguap ataupun yang lainnya maka hal tersebut dibolehkan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits.
8. Shalat di hadapan makanan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Tidak sempurna shalat (yang dikerjakan setelah) makanan dihidangkan.” (HR. Muslim)
9. Shalat sambil menahan buang air kecil atau besar, dan sebagainya yang mengganggu ketenangan hati. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Tidak sempurna shalat (yang dikerjakan setelah) makanan dihidangkan dan shalat seseorang yang menahan buang air kecil dan besar.” (HR. Muslim)
10. Shalat ketika sudah terlalu mengantuk. Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallambersabda:
“Apabila salah seorang di antara kamu ada yang me-ngantuk dalam keadaan shalat, maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Maka sesungguhnya apabila salah seorang di antara kamu ada yang shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak akan tahu apa yang ia lakukan, barangkali ia bermaksud minta ampun kepada Allah, ternyata dia malah mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih)

Read more »

Sholat Sunnah

Macam-Macam Shalat Sunnah

Shalat sunnah itu ada dua macam:
1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan dilakukan secara berjamaah

A. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah

1. Shalat Idul Fitri

2. Shalat Idul Adha
Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan 2 raka’at. Pada rakaat pertama melakukan tujuh kali takbir (di luar Takbiratul Ihram) sebelum membaca Al-Fatihah, dan pada raka’at kedua melakukan lima kali takbir sebelum membaca Al-Fatihah.

3. Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)

4. Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
Ibrahim (putra Nabi SAW) meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Beliau SAW bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah ibnu Amr, bahwasannya Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk memanggil dengan panggilan “ashsholaatu jaami’ah” (shalat didirikan dengan berjamaah). (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dilakukan dua rakaat, membaca Al-Fatihah dan surah dua kali setiap raka’at, dan melakukan ruku’ dua kali setiap raka’at.

5. Shalat Istisqo’
Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Tata caranya seperti shalat ‘Id.

6. Shalat Tarawih (sudah dibahas)
Dari ‘Aisyah Rda., bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Nabi shalat (lagi di masjid) pada hari berikutnya, jamaah yang mengikuti beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat, mereka berkumpul (menunggu Rasulullah), namun Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid. Pada paginya Nabi SAW bersabda: “Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan tadi malam, namun aku tidak keluar karena sesungguhnya aku khawatir bahwa hal (shalat) itu akan difardlukan kepada kalian.” ‘Aisyah Rda. berkata: “Semua itu terjadi dalam bulan Ramadhan.” (HR Imam Muslim)
Jumlah raka’atnya adalah 20 dengan 10 kali salam, sesuai dengan kesepakatan shahabat mengenai jumlah raka’at dan tata cara shalatnya.

7. Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih
Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.

B. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah

1. Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:
a. 2 raka’at sebelum shubuh
b. 4 raka’at sebelum Dzuhur (atau Jum’at)
c. 4 raka’at sesudah Dzuhur (atau Jum’at)
d. 4 raka’at sebelum Ashar
e. 2 raka’at sebelum Maghrib
f. 2 raka’at sesudah Maghrib
g. 2 raka’at sebelum Isya’
h. 2 raka’at sesudah Isya’

Dari 22 raka’at rawatib tersebut, terdapat 10 raka’at yang sunnah muakkad (karena tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW), berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa menjaga (melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’ di rumah beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Adapun 12 rakaat yang lain termasuk sunnah ghairu muakkad, berdasarkan hadits-hadits berikut:
a. Dari Ummu Habibah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa senantiasa melakukan shalat 4 raka’at sebelum Dzuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya ada yang sunnah muakkad dan ada yang ghairu muakkad.

b. Nabi SAW bersabda:
“Allah mengasihi orang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum (shalat) Ashar.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Huzaimah)
Shalat sunnah sebelum Ashar boleh juga dilakukan dua raka’at berdasarkan Sabda Nabi SAW:
“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)

c. Anas Ra berkata:
“Di masa Rasulullah SAW kami shalat dua raka’at setelah terbenamnya matahari sebelum shalat Maghrib…” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Nabi SAW bersabda:
“Shalatlah kalian sebelum (shalat) Maghrib, dua raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

d. Nabi SAW bersabda:
“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)
Hadits ini menjadi dasar untuk seluruh shalat sunnah 2 raka’at qobliyah (sebelum shalat fardhu), termasuk 2 raka’at sebelum Isya’.

2. Shalat Tahajjud (Qiyamullail)
Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64. Dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.
Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Shalat malam itu dua (raka’at)-dua (raka’at), apabila kamu mengira bahwa waktu Shubuh sudah menjelang, maka witirlah dengan satu raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

3. Shalat Witir di luar Ramadhan
Minimal satu raka’at dan maksimal 11 raka’at. Lebih utama dilakukan 2 raka’at-2 raka’at, kemudian satu raka’at salam. Boleh juga dilakukan seluruh raka’at sekaligus dengan satu kali Tasyahud dan salam.

Dari A’isyah Rda. Bahwasannya Rasulullah SAW shalat malam 13 raka’at, dengan witir 5 raka’at di mana beliau Tasyahud (hanya) di raka’at terakhir dan salam. (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Beliau juga pernah berwitir dengan tujuh dan lima raka’at yang tidak dipisah dengan salam atau pun pembicaraan. (HR Imam Muslim)

4. Shalat Dhuha
Dari A’isyah Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)
Dari Abu Hurairah Ra., bahwasannya Nabi pernah Shalat Dhuha dengan dua raka’at (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Dari Ummu Hani, bahwasannya Nabi SAW masuk rumahnya (Ummu Hani) pada hari Fathu Makkah (dikuasainya Mekkah oleh Muslimin), beliau shalat 12 raka’at, maka kata Ummu Hani: “Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada shalat (12 raka’at) itu, namun Nabi tetap menyempurnakan ruku’ dan sujud beliau.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

5. Shalat Tahiyyatul Masjid
Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)

6. Shalat Taubat
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)

7. Shalat Tasbih
Yaitu shalat empat raka’at di mana di setiap raka’atnya setelah membaca Al-Fatihah dan Surah, orang yang shalat membaca: Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar sebanyak 15 kali, dan setiap ruku’, i’tidal, dua sujud, duduk di antara dua sujud, duduk istirahah (sebelum berdiri dari raka’at pertama), dan duduk tasyahud (sebelum membaca bacaan tasyahud) membaca sebanyak 10 kali (Total 75 kali setiap raka’at). (HR Abu Dawud dan Ibnu Huzaimah)

8. Shalat Istikharah
Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam segala hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada sesuatu, maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan perlunya’ …” (HR Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)

9. Shalat Hajat
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempunyai hajat kepada Allah atau kepada seseorang, maka wudhulah dan baguskan wudhu tersebut, kemudian shalatlah dua raka’at, setelah itu pujilah Allah, bacalah shalawat, atas Nabi SAW, dan berdoa …” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

10. Shalat 2 rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah
Dari Ka’ab bin Malik: “Adalah Nabi SAW apabila pulang dari bepergian, beliau menuju masjid dan shalat dulu dua raka’at.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Shalat Awwabiin
Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 25
Dari Ammar bin Yasir bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat setelah shalat Maghrib enam raka’at, maka diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih lautan.” (HR Imam Thabrani)
Ibnu Majah, Ibnu Huzaimah, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah Ra. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat enam raka’at antara Maghrib dan Isya’, maka Allah mencatat baginya ibadah 12 raka’at.” (HR Imam Tirmidzi)

12. Shalat Sunnah Wudhu’
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berwudhu, ia menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua raka’at, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

13. Shalat Sunnah Mutlaq
Nabi SAW berpesan kepada Abu Dzar al-Ghiffari Ra.: “Shalat itu sebaik-baik perbuatan, baik sedikit maupun banyak.” (HR Ibnu Majah)
Dari Abdullah bin Umar Ra.: “Nabi SAW bertanya: ‘Apakah kamu berpuasa sepanjang siang?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dan kamu shalat sepanjang malam?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bersabda: ’Tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat tapi juga tidur, aku juga menikah, barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits terakhir ini menunjukkan bahwa shalat sunnah bisa dilakukan dengan jumlah raka’at yang tidak dibatasi, namun makruh dilakukan sepanjang malam, karena Nabi sendiri tidak menganjurkannnya demikian. Ada waktu untuk istirahat dan untuk istri/suami

Read more »

ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah adalah mengeluarkan bahan makanan pokok dengan ukuran tertentu setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan (malam 1 Syawwal) dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan .

Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah

Dasar wajib zakat fitrah:

عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كلّ حرّ أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين ( رواه مسلم )
“Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan“

Zakat fitrah wajib bagi setiap orang islam yang mampu dan hidup di sebagian bulan Ramadhan serta sebagian bulan Syawwal. Artinya, orang yang meninggal setelah masuk waktu maghrib malam lebaran (malam 1 Syawwal) wajib baginya zakat fitrah (dikeluarkan dari harta peninggalannya). Begitu juga bayi yang dilahirkan sesaat sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan dan terus hidup sampai setelah terbenamnya matahari malam 1 Syawwal.

Tapi sebaliknya, orang yang meninggal sebelum terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan atau bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari di malam 1 Syawwal tidak diwajibkan baginya zakat fitrah.


Yang dimaksud mampu yaitu, memiliki harta lebih dari:

Kebutuhan makan dan pakaian untuk dirinya dan orang yang wajib dinafkahi pada siang hari raya beserta malam harinya (1 Syawwal dan malam 2 Syawwal) .
Hutang, meskipun belum jatuh tempo (saat membayar).
Rumah yang layak baginya dan orang yang wajib dinafkahi.
Biaya pembantu untuk istri jika dibutuhkan.

Orang yang wajib dinafkahi yaitu:

Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.
Anak yang sudah baligh namun secara fisik tidak mampu bekerja seperti lumpuh, idiot, dan sebagainya serta tidak memiliki harta.
Orang tua yang tidak mampu (mu’sir).
Istri yang sah.
Istri yang sudah ditalak roj’i (istri yang pernah dikumpuli dan tertalak satu atau dua) dalam masa iddah.
Istri yang ditalak ba’in (talak 3) apabila dalam keadaan hamil.
Zakat fitrah berupa makanan pokok mayoritas penduduk daerah setempat.

Ukuran zakat fitrah 1 sho’ beras = 2,75 – 3 kg.


Urutan dalam mengeluarkan zakat fitrah ketika harta terbatas.

Orang yang memiliki kelebihan harta seperti di atas tetapi tidak mencukupi untuk fitrah seluruh keluarganya, maka dikeluarkan sesuai urutan berikut :

Dirinya sendiri.
Istri.
Pembantu istri sukarela (tanpa bayaran).
Anak yang belum baligh.
Ayah yang tidak mampu.
Ibu yang tidak mampu.
Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara fisik dan materi).
Jika kelebihan harta tersebut kurang dari 1 sho’ maka tetap wajib dikeluarkan.


Waktu mengeluarkan zakat fitrah:

1. Waktu wajib, yaitu ketika mendapati sebagian dari bulan Ramadhan dan sebagian dari bulan Syawwal.

2. Waktu jawaz (boleh), yaitu mulai awal Ramadhan.

Dengan catatan orang yang telah menerima fitrah darinya tetap dalam keadaan mustahiq (berhak menerima zakat) dan mukim saat waktu wajib.

Jika saat wajib orang yang menerima fitrah dalam keadaan kaya atau musafir maka wajib mengeluarkan kembali.

3. Waktu fadhilah (utama), yaitu setelah terbitnya fajar hari raya (1 Syawwal) sebelum pelaksanaan shalat ied.

4. Waktu makruh, yaitu setelah pelaksaan shalat ied hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal, kecuali karena menunggu kerabat atau tetangga yang berhak menerimanya.

5. Waktu haram, yaitu mengakhirkan hingga terbenamnya matahari 1 Syawwal kecuali karena udzur seperti tidak didapatkan orang yang berhak didaerah itu. Namun wajib menggodho’i.


Syarat sah zakat fitrah:

I. Niat.

Niat wajib dalam hati. Sunnah melafadzkannya dalam madzhab syafi’i.

Niat untuk fitrah diri sendiri:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي لِلَّهِ تَعَالىَ
(Saya niat mengeluarkan zakat fitrah saya karena Allah Ta’ala)


Niat untuk zakat fitrah orang lain:

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ فُلاَنٍ أَوْ فُلاَنَةْ لِلَّهِ تَعَالىَ
(saya niat mengeluarkan zakat fitrah fulan atau fulanah karena Allah Ta’ala)


CATATAN : Anak yang sudah baligh, mampu secara fisik, tidak wajib bagi orang tua mengeluarkan zakat fitrahnya. Oleh karena itu apabila orang tua hendak mengeluarkan zakat fitrah anak tersebut, maka caranya :

Men-tamlik makanan pokok kepadanya (memberikan makanan pokok untuk fitrahnya agar diniati anak tersebut).
Atau mengeluarkannya dengan seizin anak.

Cara niat zakat fitrah

a. Jika dikeluarkan sendiri, maka diniatkan ketika menyerahkannya kepada yang berhak atau setelah memisahkan beras sebagai fitrahnya. Apabila sudah diniatkan ketika dipisah maka tidak perlu diniatkan kembali ketika diserahkan kepada yang berhak.

b. Jika diwakilkan, diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil atau memasrahkan niat kepada wakil. Apabila sudah diniatkan ketika menyerahkan kepada wakil maka tidak wajib bagi wakil untuk niat kembali ketika memberikan kepada yang berhak, namun lebih afdhol tetap meniatkan kembali, tetapi jika memasrahkan niat kepada wakil maka wajib bagi wakil meniatkannya.

II. Menyerahkan kepada orang yang berhak menerima zakat, yaitu ada 8 golongan yang sudah maklum.

Hal–hal yang perlu diperhatikan:

1. Tidak sah memberikan zakat fitrah untuk masjid.

2. Panitia zakat fitrah yang dibentuk oleh masjid, pondok, LSM, dll (bukan BAZ) bukan termasuk amil zakat karena tidak ada lisensi dari pemerintah.

3. Fitrah yang dikeluarkan harus layak makan, tidak wajib yang terbaik tapi bukan yang jelek.

4. Istri yang mengeluarkan fitrah dari harta suami tanpa seizinnya untuk orang yang wajib dizakati, hukumnya tidak sah.

5. Orang tua tidak bisa mengeluarkan fitrah anak yang sudah baligh dan mampu kecuali dengan izin anak secara jelas.

6. Menyerahkan zakat fitrah kepada anak yang belum baligh hukumnya tidak sah (qobd-nya), karena yang meng-qobd harus orang yang sudah baligh.

7. Zakat fitrah harus dibagikan pada penduduk daerah dimana ia berada ketika terbenamnya matahari malam 1 Syawal. Apabila orang yang wajib dizakati berada di tempat yang berbeda sebaiknya diwakilkan kepada orang lain yang tinggal di sana untuk niat dan membagi fitrahnya.

8. Bagi penyalur atau panitia zakat fitrah, hendaknya berhati-hati dalam pembagian fitrah agar tidak kembali kepada orang yang mengeluarkan atau yang wajib dinafkahi, dengan cara seperti memberi tanda pada fitrah atau membagikan kepada blok lain.

9. Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) tetap wajib fitrah sekalipun dari hasil fitrah yang didapatkan jika dikategorikan mampu.

10. Fitrah yang diberikan kepada kyai atau guru ngaji hukumnya TIDAK SAH jika bukan termasuk dari 8 golongan mustahiq.

11. Anak yang sudah baligh dan tidak mampu (secara materi) sebab belajar ilmu wajib (fardlu ‘ain atau kifayah) adalah termasuk yang wajib dinafkahi, sedangkan realita yang ada mereka libur pada saat waktu wajib zakat fitrah. Oleh karena itu, caranya harus di-tamlikkan atau dengan seizinnya sebagaimana di atas.

12. Ayah boleh meniatkan fitrah seluruh keluarga yang wajib dinafkahi sekaligus. Namun banyak terjadi kesalahan, fitrah anak yang sudah baligh dicampur dengan fitrah keluarga yang wajib dinafkahi. Yang demikian itu tidak sah untuk fitrah anak yang sudah baligh. Oleh karena itu, ayah harus memisah fitrah mereka untuk di-tamlikkan atau seizin mereka sebagaimana keterangan di atas.

13. Fitrah dengan uang tidak sah menurut madzhab Syafi’i.

Read more »

ZAKAT HASIL PROPESI

Zakat atas penghasilan atau zakat profesi adalah istilah yang muncul dewasa ini. Adapun istilah Ulama salaf bagi zakat atas penghasilan atau profesi biasanya di sebut dengan “Almalul mustafad”. Yang termasuk dalam kategori zakat mustafad adalah, pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang dijalani, seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang di hasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.

Mayoritas Ulama’ tidak mewajibkan zakat atas hasil yang didapat dengan cara di atas. Namun ulama’ kontemporer seperti D.R.Yusuf Qordlowi berpendapat wajib di keluarkan zakatnya, hal demikian merujuk pada salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) dan beberapa riwayat yang menjelaskan hal tersebut.[1]

Diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud, Mu’awiyyah, Awza’i dan Umar bin Abdul Aziz yang menjelaskan bahwa beliau mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin), jawaiz (hadiah) dan almadholim (barang ghosob/curian yang di kembalikan). Abu Ubaid meriwayatkan, “Adalah Umar bin Abdul Aziz, memberi upah pada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan almadholim (barang ghosob/curiang yang di kembalikan) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin) yang di berikan kepada yang menerimanya.

Atas dalil-dalil tersebut di atas dengan merujuk pada Madzhab Hanbali, beberapa ulama kontemporer berpendapat adanya zakat atas upah atau hadiah yang di peroleh seseorang. Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya atau hadiah yang didapat menjadi kaya, maka ia wajib zakat atas kekayaan tersebut. Akan tetapi jika hasil yang di dapat hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, atau lebih sedikit, maka baginya tidak wajib zakat, bahkan apabila hasilnya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka ia tergolong mustahiq zakat.[2]


Nishob dan kadar zakat mustafad

Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishob dan kadar zakat profesi, yang di kemukakan oleh beberapa Ulama kontemporer, berikut masing-masing pendapat tersebur :

1.Menganalogikan (men-qiyas-kan) secara mutlak dengan hasil pertanian, baik nishob maupun kadar zakatnya. Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob hasil pertanian yaitu 652,5 kg beras (hasil konversi D.R.Wahbah Azzuhaili), kadar yang harus di keluarkan 5% dan harus dikeluarkan setiap menerima.
2.Menganalogikan nishobnya dengan zakat hasil pertanian, sedangkan kadar zakatnya dianalogkan dengan emas yakni 2,5%. Hal tersebut berdasarkan atas qiyas atas kemiripan (qiyas syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
◦Model memperoleh harta tersebut mirip dengan panen hasil pertanian. Dengan demikian maka dapat di qiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal nishobnya.
◦Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan adalah berupa mata uang. Oleh sebab itu, bentuk harta ini dapat diqiyaskan dengan zakat emas dan perak (naqd) dalam hal kadar zakat yang harus di keluarkan yaitu 2,5%.
Adapun pola penghitungan nishobnya adalah dengan mengakumulasikan pendapatan perbulan pada akhir tahun, atau di tunaikan setiap menerima, apabila telah mencapai nishob
1.Mengkategorikan dalam zakat emas atau perak dengan nengacu pada pendapat yang menyamakan mata uang masa kini dengan emas atau perak (lihat penjelasan zakat uang). Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob emas atau perak sebagaimana penjelasan terdahulu, dan kadar yang harus dikeluarkan adalah 2,5%. Sedangkan waktu penunaian zakatnya adalah segera setelah menerima (tidak menuggu haul).
Pendapat ketiga inilah yang saya ambil sebagai pegangan, karena sesuai dengan yang tercantum didalam kitab Madzhab Hanbali yang menjadi acuan atas diwajibkannya zakat profesi dan pendapatan tak terduga tanpa harus menganalogkan (men-qiyas-kan) secara paksa dengan zakat-zakat yang lain dengan mempertimbangkan kemampuan menganalogkan (men-qiyas-kan) permasalahan, sehingga menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum.



Zakat mustafad dari hasil hadiah undian atau kuis

Apabila harta yang diperoleh dari hasil undian atau kuis baik dalam bentuk uang atau barang sudah setara dengan nishob perak maka zakat yang di keluarkan adalah 2,5%, sebagaimana zakat emas dan perak, dan di tunaikan segera setelah diterima.
Hadiah berupa uang tunai yang pajakanya ditanggung oleh penerima, zakatnya dihitung setelah dipotong pajak (after tax), hal demikian disebabkan pada umumnya apabila pajak hadiah ditanggung oleh penerima , maka hadiah yang diterima sudah dipotong pajak, sehingga kenyataan hasil yang diterima adalah sejumlah yang sudah terpotong pajak. Sedangkan hadiah yang pajaknya tidak ditanggung oleh penerima atau hadiah berupa barang, baik pajaknya ditanggung oleh penerima atau tidak, maka zakatnya dihitung sebelum pajak (before tax) karena kewajiban pajak tidak berpengaruh atas penghitungan zakat dari hasil yang diterima.



Contoh 1:

Bapak Sulaiman memperoleh hadiah sebesar Rp 100.000.000. pajak hadiah ditanggung pemenang. Cara menghitung zakatnya adalah :

Hadiah Rp 100.000.000.

Pajak 20% x 100.000.000. Rp 20.000.000.

Total yang diterima Rp 80.000.000.

Maka zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% x Rp 80.000.000 = 2.000.000.

Nishob setara dengan 543,35gr perak, asumsi harga perak @ Rp 5000. = 543,35 x 5000 = Rp 2.716.750.



Contoh 2:

Bapak Samsul memperoleh hadiah mobil senilai 200.000.000.pajak hadiah ditanggung atau tidak di tanggung pemenang. Cara menghiting zakatnya adalah:

Nilai hadiah Rp 200.000.000.

Pajak 20% x 200.000.000. Rp 40.000.000.

Maka zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5% x 200.000.000 = 5.000.000. (pajak hadiah tidak mengurangi nilai zakat yang dihitung).

Read more »

RUKUN SHOLAT

Rukun-Rukun Shalat

Rukun-rukun shalat ada empat belas:
1. Berdiri bagi yg mampu
2. Takbiiratul-Ihraam
3.Membaca Al-Fatihah
4. Ruku’
5. I’tidal setelah ruku’
6. Sujud dgn anggota tubuh yg tujuh
7. Bangkit darinya
8. Duduk di antara dua sujud
9. Thuma’ninah dalam semua amalan
10. Tertib rukun-rukunnya
11. Tasyahhud Akhir
12. Duduk utk Tahiyyat Akhir
13. Shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
14. Salam dua kali.

Penjelasan Empat Belas Rukun Shalat
1. Berdiri tegak bagia yang mampu
pada shalat fardhu bagi yg mampuDalilnya firman Allah ‘azza wa jalla Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha serta berdirilah utk Allah ‘azza wa jalla dgn khusyu’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Shalatlah dgn berdiri..

2. Takbiiratul-ihraam yaitu ucapan: ‘Allahu Akbar’ tidak boleh dgn ucapan lainDalilnya hadits Pembukaan shalat dgn takbir dan penutupnya dgn salam. Juga hadits tentang orang yg salah shalatnya Jika kamu telah berdiri utk shalat maka bertakbirlah.

3. Membaca Al-Fatihah: Membaca Al-Fatihah adl rukun pada tiap raka’at sebagaimana dalam haditsلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. Tidak ada shalat bagi orang yg tidak membaca Al-Fatihah.

4. Ruku

5. I’tidal setelah ruku’

6. Sujud dgn tujuh anggota tubuh

7. Bangkit darinya

8. Duduk di antara dua sujud
Dalil dari rukun-rukun ini adl firman Allah ‘azza wa jalla Wahai orang-orang yg beriman ruku’lah dan sujudlah. Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Saya telah diperintahkan utk sujud dgn tujuh sendi.

9. Thuma’ninah dalam semua amalan

10. Tertib antara tiap rukun
Dalil rukun-rukun ini adl hadits musii` Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk mesjid lalu seseorang masuk dan melakukan shalat lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum shalat ! .. Orang itu melakukan lagi seperti shalatnya yg tadi lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu!t Karena kamu belum shalat ! .. sampai ia melakukannya tiga kali lalu ia berkata: ‘Demi Dzat yg telah mengutusmu dgn kebenaran sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saya tidak sanggup melakukan yg lbh baik dari ini maka ajarilah saya!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Jika kamu berdiri hendak melakukan shalat takbirlah baca apa yg mudah dari Al-Qur`an kemudian ruku’lah hingga kamu tenang dalam ruku’ lalu bangkit hingga kamu tegak berdiri sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud bangkitlah hingga kamu tenang dalam duduk lalu lakukanlah hal itu pada semua shalatmu. {HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al- Hakim}

11. Tasyahhud Akhir: Tasyahhud akhir termasuk rukun shalat sesuai hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata Tadinya sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami kami mengucapkan: ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih assalaamu ‘alaa Jibriil wa Miikaa`iil {Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril ‘alaihis salam dan Mikail ‘alaihis salam}’ maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Jangan kalian mengatakan ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih {Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya}’ sebab sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla Dialah As-Salam {Dzat Yang Memberi Keselamatan} akan tetapi katakanlah ‘Segala penghormatan bagi Allah shalawat dan kebaikan’ .. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hadits keseluruhannya.
Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab yg membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yg lainnya.

12. Duduk Tasyahhud Akhir: Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Jika seseorang dari kalian duduk dalam shalat maka hendaklah ia mengucapkan At-Tahiyyat.

13. Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Jika seseorang dari kalian shalat.. lalu hendaklah ia bershalawat atas Nabi. Pada lafazh yg lain Hendaklah ia bershalawat atas Nabi lalu berdoa. {HR. Ahmad dan Abu Dawud}

14. Dua Kali Salam: Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .. dan penutupnya ialah salam. Inilah penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun shalat yg harus diperhatikan dan dipenuhi dalam tiap melakukan shalat krn kalau meninggalkan salah satu rukun shalat baik dengan sengaja atau pun lupa maka shalatnya batal harus diulang dari awal. Wallaahu A’lam.Sumber artikel

Read more »

Zakat Hasil Pertanian

Harta Zakat

Ada beberapa pendekatan dalam menentukan macam-macam harta yang wajib dizakati, yakni pendekatan iqor (harta tidak bergerak) dan manqul (harta bergerak). Atau dengan pendekatan alkhorij( zakat dari hasil yang dicapai) dan ro’sul maal(zakat atas modal).Saya menggunakan pendekatan yang kedua yaitu pendekatan alkhorij dan ro’sulmaal.

Zakat atas`hasil yang dicapai (alkhorij)
Zakat atas hasil yang dicapai berbeda dengan zakat atas modal dalam hal pembayarannya. Harta yang wajib dizakati berdasarkan hasil yang dicapai, penunaian zakatnya segera setelah didapat hasilnya tanpa terikat dengan syarat haul. Harta yang termasuk dalam kategori ini mengikuti Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali adalah:

1. Zakat atas hasil pertanian.
Yakni, semua tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis, seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rumput-rumputan, dan lain-lain. Demikian menurut pendapat Madzhab Hanafi.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, yang termasuk dalam golongan hasil pertanian hanyalah terbatas pada hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai makanan pokok, seperti padi, gandum, kedelai, jagung, kacang, dan lain-lain, serta buah kurma dan anggur.

Semua hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan segera zakatnya setiap kali musim panen apabila hasil panen sudah mencapai nishob (Lihat tabel nishob). Namun menurut Madzhab Hanafi berapapun yang dihasilkan dari hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan zakatnya 10%, tanpa disyaratkan mencapai jumlah tertentu (nishob).

Dalam madzhab Syafi’i, lahan pertanian yang produksi dalam satu tahun, hitungan nishobnya menggunakan cara akumulasi dari beberapa hasil panen dalam satu tahun.

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila menggunakan pengairan secara alami seperti, air hujan, sungai, mata air, adalah 10%. Sedangkan yang menggunakan alat-alat tertentu, sekira air tidak dapat menjangkau pada lahan pertanian kecuali dengan alat tersebut, maka kadar zakatnya adalah 5%.
Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan selain untuk alat pengairan tersebut diatas, seperti pupuk, obat-obatan, upah petugas irigasi (ulu-ulu=jawa), dan lain-lain, tidak dapat berpengaruh pada kadar zakat yang harus dikeluarkan, meskipun ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Contoh 1:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai, di tanami padi. Hasil panen yang di capai adalah 1500 kg . Zakat yang harus di keluarkan adalah: 10 % x 1500 kg = 150 kg.

Jika pengairannya menggunakan peralatan tertentu sekira air tidak dapat menjang kau tanpanya, maka zakatnya adalah : 5 % x 1500 kg = 75 kg.
Nishob gabah kering hasil konversi K.H.Muhammad Ma’shum bin ‘Ali adalah 1323,132 kg atau 815,758 kg beras putih.

Contoh 2:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai ditanami padi.
pada lahan a hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan b hasil panen yang diperoleh adalah 300 kg.
Pada lahan c hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan d hasil panen yang diperoleh adalah 400 kg
Jumlah 1700 kg.
Zakat yang harus di keluarkan adalah : 10 % x 1700 kg = 170 kg.

Menurut Madzhab Hanafi zakat pertanian juga dapat ditunaikan dalam bentuk uang setara dengan nilai hasil pertanian yang harus di keluarkan, bukan 10 % dari harga jual.
Contoh :

Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai di tanami padi, menghasilkan panen 1500 kg, laku terjual Rp 1.400.000. Harga pasar per 100 kg
Rp 100.000.

Zakat yang semestinya di keluarkan adalah 150 kg, (= 10 % x 1500 kg).
Dapat juga di tunaikan Rp 150.000. (harga pasar 150 kg).

Read more »

Kajian Syahadatain

Kajian Syahadatain

Hukum Syara' mewajibkan kepada seluruh ummat manusia yang baliqh dan berakal (Mukallaf) untuk bertauhid, yakni mengetahui dan meyakinkan kepada adanya Allah SWT, dengan garansi : Sah imannya dan mendapatkan pahala bagi yang benar Tauhidnya, dan tidak sah imannya serta akan diberikan siksa bagi yang tidak benar Tauhidnya.
Kewajiban bertauhid ini mulai berlaku semenjak akil baligh tiba, oleh karenanya, sedetik saja pada sa'at baligh tiba dalam keadaan tidak bertauhid. Berarti pernah mengalami kafir, oleh sebbab itu, sebelum sampai pada usia baligh diharuskan mempelajari ilmu Tauhid terlebih dahulu, sebagai persiapan dan menjaga agar hidup tidak mengalami kafir dahulu.

SYAHADATAIN

A. Mengucapkan Dua Kelimat Syahadat(Syar'an)
Beriman kepada Allah SWT. Diikrarkan dengan mengucapkan lafadz Syahadatain sebagai berikut :

اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
Artinya : Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah. Dan nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Para ulama sepakat bahwa mengucapkan Syahadatain adalah Rukun Islam, maka yang tidak mengucapkan Syahadatain bukan orang Islam, walaupun pada hakekatnya beriman kepada adanya Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلئَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ امُرْتُ اَنْ قَاتِلَ النَّاسَ حَتَّئ يَشْهَدُوْا اَنْ لاَاِلَهَََ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُؤْا الزَّكَاةَ فَاِذَا فَعَلُوْاذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَانَهُمْ وَاَمْوَا لَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّ الاِسْلاَمِ وَحِسَا بُهُمْ عَلَى اللهِ (رواه البخاري)
Artinya : sesungguhnya Rasululloh SAW, telah bersabda : "Kami diperintahkan untuk memerangi orang-orang, sehingga mereka bersaksi (mengucapkan Syahadatain) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah dan mengerjakan Sholat, juga membayar Zakat. Manakala mereka mengerjakan semuanya, maka kami menjaga darah mereka dan harta benda mereka. Kecuali hak-hak yang bertalian dengan Islam, kemudian hisaban mereka diserahkan kepada Allah SWT.
Hubungan mengucapkan Syahadatain dengan keimanan, para Ulama berpendapat :

1. Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy (Muhaqqiqin) berpendapat bahwa Mengucapkan Syahadatain merupakan sarat sahnya iman.
Ulama Jumhur memberikan pendapat Imam al-‘Asy'ary dan al-Ma'turidy ini, bahwa yang dimaksud dengan sarat sahnya Iman adalah untuk pengesahan Hukum Islam di dunia, seperti hukum nikah, warist, sholat dan lain sebagainya. Sedangkan di hadapan Allah (di akhirat) yang dilihat adalah hatinya bukan ucapannya, jadi kalau hatinya beriman, termasuk Mukmin dan pasti tempat kembaliNya adalah sorga, begitu pula sebaliknya, bila hatinya tidak beriman kepada Allah SWT. Walaupun mengucapkan Syahadatain, tidaklah termasuk kepada orang yang beriman dan tempat kembaliNya di akhirat adalah Neraka.

2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa : Mengucapkan Syahadatain adalah setengah dari Iman, karena Iman dan syahadatain merupakan rangkain Dohir dan Bathin.

B. Syahadat Munjin.
Sebagaimana telah disebutkan di atas untuk menjadi orang yang beriman tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain, karena masalah keimanan bukan masalah lahiriyah, melainkan masalah hati atau kejiwaan, oleh karenanya didalam mengucapkan Syahadatain harus pula dijiwai dengan benar, Syahadat yang dijiwai dengan benar disebut Syahadat Munjin, Syahadatain ini pulalah yang akan menyelamatkan kehidupan ummat manusia di akhirat.
Adapun yang dimaksud dengan Syahadat Munjin adalah Syahadatain yang disertai dengan :
1. Ma'rifat, hati mengakui bahwa Allah SWT, adalah Tuhan dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
2. Idz-Dzi'an, hati menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan menerima ke Rosulan Nabi Muhammad.
3. Qobul, hati menerima seluruh ajaran Allah SWT dan RasulNya, sehingga menjadi pedoman hidup.
4. Lafadz (materi kata) yang diucapkan harus bahasa Arab, tidak dapat diganti dengan bahasa lain, sekalipun sama maknanya.

1. Ma'rifat. Dalam mengucapkan Syahadatain harus disertai dengan ma'rifat yakni disertai dengan :
a. Idrokun Jazimun = Meyakinkan dengan sangat pasti, sehingga tidak ada keraguan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad utusan Allah SWT.
b. Muwafiqun lil Waqi'i = apa yang diyakininya sesuai dengan kenyataan, bahwa Allah SWT, yang diyakininya adalah Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam ilmu Tauhid, tidak beranak dan tidak pula diper-anakan.
c. Nasyium ‘an Dalilin = Meyakinkan kepada adanya Allah SWT, disertai dengan argumentasi (dalil) yang dapat mempertahankan keyakinannya, baik itu dalil ‘Akli maupun dalil Nakli sebagamana telah disebutkan pada pasal hukum ‘Akal.
Adapun yang harus dima'rifatkkannya adalah :
a) Dzat Allah SWT dan sifat - sifatnya.
b) Dzat Rosul dan sifat - sifatnya.
c) Yang Mumkinul Wujud.
d) Yang wajib dan yang Mustahil di Allah SWT dan di Rasululloh.

2. Idz-Dzi'an. Untuk dapat disebutkan seorang Mukmin tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain dan Ma'rifat saja, melainkan harus pula disertai dengan pengakuan bahwa : Allah SWT. Tuhanku dan Nabi Muhammad adalah Rasulku. Jadi apabila ada orang yang meyakinkan bahwa ttiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah tetapi hatinya tidak menerima bertuhan kepada Allah SWT. Dan tidak mengakui berRosul kepada Nabi Muhammad, orang tersebut di hadapan Allah SWT. Tidak termasuk kepada orang yang beriman, seperti ada perkataan seorang pemimpin Yahudi di masa Nabi, bernama Abdullah bin Salam, dia berkata : Aku meyakinkan bahwa Nabi Muhammad adalah betul-betul Rasul Allah SWT, dan Nabi yang terakhir, seperti aku yakin kepada anakku sendiri, bahkan kepada Nabi Muhammad aku lebih yakin (ma'rifat). Orang seperti ini disebutkan dalam al-Qur'an surat 2. Al-baqoroh ayat 146 :

3. Qobul. Begitu pula tidak termasuk kepada orang mukmin, orang yang tidak menerima ajaran Allah SWT dan RasulNya, walaupun telah Ma'rifat dan Idz-Dzi'an, sekalipun melaksanakan ajaran Allah SWT dan RasulNya.
Sebagai bukti telah Qobul harus berani mengikrarkan

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبَّا وَبِالاِسْلاَمِ دِيْنَا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّاوَّرَسُوْلاً وَبِالْقُرْاَنِ اِمَامًا وَّبِالْمُؤْمِنِيْنَ اِخْوَانًا
Artinya : Aku Ridho (mengakui dan menerima) kepada Allah SWT. Aku bertuhan dan Islam sebagai agamaku, dan kepada Nabi Muhammad aku berNabi dan berRosul, dan kepada al-Qur'an aku berpedoman, dan kepada Mukminin aku besaudara.

C. Yang Harus di Syahadatkan.
Disamping Allah SWT dan RasulNya wajib pula dima'rifatkan tentang adanya alam Goib, sebagaimana firman allah SWT. Dalam al-Qur'an surat 2. Al-Baqoroh ayat 3-4 :
Artinya : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Adapun yang dimaksud dengan alam Goib itu adalah :
1. Alam Barzakh.
2. Siksa Kubur.
3. Nikmat Kubur.
4. Pertanyaan Munkar dan Nakir.
5. Qiyamah.
6. Alam Ba'ats dan Qubur.
7. Mahsyar, tempat berkumpul.
8. Mauqif, ttempat menunggu hisaban ‘amal.
9. Mizan, timbangan ‘amal.
10. Hisaban.
11. Syafa'atul ‘Udhma.
12. Surga.
13. Neraka.
14. Shirothol Muustaqim.
15. Melihat Allah SWT di surga.
16. Abadinya di surga bagi orang Mukmin dan abadinya di neraka bagi orang Kafir.
Orang yang Ma'rifat Idz-Dzi'an, Qobul dan mengucapkan Syahadatain, tetapi tidak mealaksanakan ajaran-ajaran Islam, namanya Mukmin Fasiq, Orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam seperti; Sholat, Puasa tetap hatinya tidak Ma'rifat, Idzi'an dan Qobul namanya Kafir Fasiq

Read more »

Manfaat dan Hikmah Saum

Manfaat dan Hikmah Saum

Read more »

Sesudah Saum

Sesuadah Saum

Read more »

Sebelum Saum

Sebelum Saum

Read more »

Dasar Saum

Dasar Saum

Read more »

Kajian Saum

Kajian Saum

Read more »

Hal Terkait Saum

Hal Terkait Saum

Read more »

Batal Saum

Batal Saum

Read more »

Sunnahnya Dalam Saum

Sunnahnya Dalam Saum

Read more »

Syarat Shah Saum

Syarat Shah Saum

Read more »

Sunnah Saum

Sunnah Saum

Read more »

Rukun Saum

Puasa, ibadah yang diwajibkan oleh Allah swt dibulan Syaban tahun kedua Hijrah kepada kaum muslimin adalah jenis ibadah yang sangat agung dan sakral diantara sekian ibadah –ibadah yang ada dalam agama Islam. Ia dijadkan oleh Allah sebagai sarana bagi kaum muslimin untuk menggapai derajad taqwa. Maka dari itu, sudah seharusnya setiap muslim mengetahui rukun, syarat, dan hal-hal lain yang terkait dengan ibadah tersebut supaya ia dapat memperoleh pahala yang melimpah dari sisi Allah swt pada hari Kiamat . Adapun rukun puasa yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah:

1. Menjaga diri dari semua hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan berhubungan suami- isteri) dari terbit fajar shadiq sampai dengan matahari terbenam.
Dalil tentang hal tersebut diatas adalah firman Allah swt :
قال الله تعالى : (فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل).البقرة : 187
Artinya : " Maka sekarang pergaulilah mereka ( isteri –isterimu) dan carilah apa yang telah tetapkan untukmu( anak-anak) dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam ( fajar shadiq) lalu sempurnakan oleh kalian puasa sampai dengan malam (matahari terbenam" . Al-Baqarah :187

Yang dimaksud benang putih adalah terangnya siang, dan benang hitam adalah gelapnya malam. Hal ini dijelaskan dalam hadith riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Adi bin Hatim ra .
أن عدي بن حاتم قال: لما نزلت (حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود) عمدت إلى عقال أسود، وإلى عقال أبيض، فجعلتهما تحت وسادتي، فجعلت أنظر في الليل، فلا يستبين لي، فغدوت على رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرت له ذلك فقال: " إنما ذلك سواد الليل، وبياض النهار ".
Artinya : Sesungguhnya ‘Adi bin Hatim ra berkata : "Tatkala turun ayat ini :“Sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam”,aku mengambil tali yang berwarna hitam dan tali yang berwarna putih, lalu aku letakkan dibawah bantal , lalu aku mulai melihatnya diwaktu malam, maka tidak nampak jelas antara keduany. Pada pagi harinya, aku pergi menemui Rasulullah SAW, dan aku ceritakan kepadanya apa yang terjadi, maka beliau bersabda : "Sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah gelapnya malam dan terangnya siang. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Firman Allah didalam surat Al-Baqarah :187 diatas tegas menyatakan tentang batalnya puasa karena makan dan minum dengan sengaja. Adapun dalil batalnya puasa karena hubungan sebadan (hubungan suami isteri) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَجِدُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِعَرَقٍ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ. رواه البخاري و مسلم
Artinya : Dari Abu Hurairah ra , Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw seraya berkata : Saya celaka! , lalu Rasulullah bertanya : Apa itu ( Apa yang telah membuatmu celaka) ? Ia menjawab : Saya telah melakukan hubungan sebadan dengan isteriku di bulan Ramadhan . Lalu Rasulullah saw bertanya : Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak belian ( sebagai kafaratnya) ? Ia menjawab : Tidak . Lalu Rasulullah bertanya lagi : Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut ? Ia menjawab : Tidak . Lalu Rasululllah saw bertanya lagi : Apakah kamu mampu memberikan makan untuk 60 orang miskin? Ia menjawab : Tidak .Lalu seorang sahabat dari kalangan Anshor datang dengan membawa sekeranjang kurma , Lalu Rasulullah saw bersabda : Pergilah lalu sedehkahkan ini ( kepada orang –orang miskin) ! Ia berkata : Saya sedekahkan kepada orang miskin ? Demi Allah yang telah mengutusmu sebagai rasul, tidak ada orang yang lebih miskin di Madinah dari saya . Lalu Rasulullah bersabda : Pergilah dan sedekahkanlah kepada keluargamu!. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun makan dan minum tidak dengan sengaja tidak membatalkan puasa . Hal ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ . رواه البخاري و مسلم
Yang artinya : Rasulullah bersabda : Apabila (seorang diantaramu ) lupa lalu ia makan dan minum (padahal ia sedang berpuasa ), maka hendaklah ia teruskan puasanya karena Allahlah yang telah memberinya makan dan minum . (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra.)

2. Niat.
Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana sebagaimana ia adalah rukun pada seluruh ibadah-ibadah lainnya. Dalil- dalil yang menjelaskan tentang hal tersebut adalah sebagai berikut.
قال الله تعالى : " وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين ".البيينة : 5
Allah swt berfirman : "Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali tuk menyembah ( mengabdi ) kepada Allah dengan mengikhlaskan( memurnikan ) agama ( ketaatan ) kepada-Nya) .
Al- Bayyinah : 5
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إنما الاعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى ". رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه .
Yang artinya : Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya setiap amalan itu (sah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-Khaththab ra )

Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar dan Hafshah ra bahwa keduanya berkata:
عن حفصة و ابن عمر رضي الله عنهما قالا : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من لم يجمع الصيام قبل الفجر، فلاصيام له ) . رواه أحمد وأصحاب السنن، وصححه ابن خزيمة، وابن حبان.
Dari Hafsah dan ibn Umar ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum terbitnya fajar shadiq maka tidak ada puasa baginya.” ( HR Ahmad dan Ashabun Sunan dan disahihkan oleh ibn Khuzaimah dan ibn Hibban )
Dari hadits ini, jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Maka dari itu, tidak sah puasa orang yang tidak berniat sampai terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Juga dikuatkan oleh para ulama mutaakhirin seperti Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.

Catatan:
Ada beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan niat:
1. Dikeculikan dari wajibnya berniat sebelum terbit fajar, seseorang yang baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya sah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
2. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, sedangkan untuk puasa sunnah, maka dibolehkan berniat selepas terbit fajar, selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Dallilnya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang kerumah Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda.
“Artinya : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim]
3. Salah satu yang sering ditanyakan adalah: Apakah sah berniat di awal Ramadhan untuk sebulan penuh? Pendapat yang menyatakannya sahnya hal tersebut adalah pendapat Zufar, Imam Malik, salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq bin Rohawaih. Alasanya adalah bahwa puasa ramadhan adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.
Adapun jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas. Diantara bantahan terhadap pendapat diatas adalah: karena jumlah malam dalam ramadhan tidak pasti, antara 29 atau 30 hari, maka wajib untuk melakukan niat pada tiap malam dari malam-malam tersebut.

Read more »

Wajib Saum

Wajib Saum

Read more »

Hukum Saum


Apa itu Puasa?


Puasa ialah menahan diri dari makan dan minum serta melakukan perkara-perkara yang boleh membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sehingga terbenamnya matahari.

Hukum Puasa


Hukum puasa terbahagi kepada tiga iaitu :

  • Wajib – Puasa pada bulan Ramadhan.
  • Sunat – Puasa pada hari-hari tertentu.
  • Haram – Puasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa.

Syarat Wajib Puasa

  • Beragama Islam
  • Baligh (telah mencapai umur dewasa)
  • Berakal
  • Berupaya untuk mengerjakannya.
  • Sihat
  • Tidak musafir

Rukun Puasa

  • Niat mengerjakan puasa pada tiap-tiap malam di bulan Ramadhan(puasa wajib) atau hari yang hendak berpuasa (puasa sunat). Waktu berniat adalah mulai daripada terbenamnya matahari sehingga terbit fajar.
  • Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sehingga masuk matahari.

Syarat Sah Puasa

  • Beragama Islam
  • Berakal
  • Tidak dalam haid, nifas dan wiladah (melahirkan anak) bagi kaum wanita
  • Hari yang sah berpuasa.

Sunat Berpuasa

  • Bersahur walaupun sedikit makanan atau minuman
  • Melambatkan bersahur
  • Meninggalkan perkataan atau perbuatan keji
  • Segera berbuka setelah masuknya waktu berbuka
  • Mendahulukan berbuka daripada sembahyang Maghrib
  • Berbuka dengan buah tamar, jika tidak ada dengan air
  • Membaca doa berbuka puasa

Perkara Makruh Ketika Berpuasa

  • Selalu berkumur-kumur
  • Merasa makanan dengan lidah
  • Berbekam kecuali perlu
  • Mengulum sesuatu

Hal yang membatalkan Puasa

  • Memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan
  • Muntah dengan sengaja
  • Bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan sengaja
  • kedatangan haid atau nifas
  • Melahirkan anak atau keguguran
  • Gila walaupun sekejap
  • Mabuk ataupun pengsan sepanjang hari
  • Murtad atau keluar daripada agama Islam

Hari yang Disunatkan Berpuasa

  • Hari Senin dan Kamis
  • Hari putih (setiap 13, 14, dan 15 hari dalam bulan Islam)
  • Hari Arafah (9 Zulhijjah) bagi orang yang tidak mengerjakan haji
  • Enam hari dalam bulan Syawal

Hari yang diharamkan Berpuasa

  • Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)
  • Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah)
  • Hari syak (29 Syaaban)
  • Hari Tasrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)


Read more »

Manfaat dan Hikmah Wudhu

Manfaat dan Hikmah Wudhu

Read more »

Sebelum Wudhu

Sebelum Wudhu

Read more »

Manfaat dan Hikmah Zakat

Manfaat dan Hikmah Zakat

Read more »

Sesudah Zakat

Sesudah Zakat

Read more »

Sebelum Zakat

Sebelum Zakat

Read more »

Dasar Zakat

Dasar Zakat

Read more »

Kajian Zakat

Kajian Zakat

Read more »

Manfaat dan Hikmah Haji

Manfaat dan Hikmah Haji

Read more »

Setelah Haji

Setelah Haji

Read more »

Sebelum Haji

Sebelum Haji

Read more »

Dasar Haji

Dasar Haji

Read more »

Kajian Haji

Kajian Haji

Read more »

Hal Terkait Haji

Hal Terkait Haji

Read more »

Batal Haji

Batal Haji

Read more »

Sunnah Haji

Sunnah Haji

Read more »

Syarat Haji

Syarat Haji

Read more »

Rukun Haji

Rukun Haji

Read more »

Wajib Haji

Wajib Haji

Read more »

Hukum Haji

Hukum Haji

Read more »

Waris

Waris

Read more »

Manfaat dan Hikmah Shalat

Manfaat dan Hikmah Shalat

Read more »

Manfaat Nikah

Manfaat Nikah

Read more »

Anak Diluar Nikah

Anak Diluar Nikah:
1. Anak Haram

Read more »

Anak

Anak
Anak Kandung
Anak Tiri
Anak Asuh

Read more »

Kewajiban Istri

Kewajiban Istri

Read more »

Kewajiban Suami

Kewajiban Suami

Read more »

Sebelum Nikah

Sebelum Nikah

Read more »

Rumah Tangga

Rumah Tangga

Read more »

Dasar Nikah

Dasar Nikah

Read more »

Batal Nikah

Batal Nikah

Read more »

Kajian Nikah

Kajian Nikah

Read more »

Hal Terkait Nikah

Hal terkait Nikah

Read more »

Sunnah Nikah

Sunnah Nikah

Read more »

Syarat Nikah

Syarat Nikah

Read more »

Rukun Nikah

Rukun Nikah

Read more »

Wajib Nikah

Wajib Nikah

Read more »

Hukum Nikah

Hukum Nikah

Read more »

Dibolehkan Dalam Shalat

Hal-hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat
1. Membetulkan bacaan imam. Apabila imam lupa ayat tertentu maka makmum boleh mengingatkan ayat tersebut kepada imam. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar :
“Bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wasallam shalat, kemudian beliau membaca suatu ayat, lalu beliau salah dalam membaca ayat tersebut. Setelah selesai shalat beliau bersabda kepada Ubay, ‘Apakah kamu shalat bersama kami?’, ia menjawab, ‘Ya’, kemudian beliau bersabda, ‘Apakah yang menghalangi-mu untuk membetulkan bacaanku’.” (HR. Abu Daud, Al-Hakim dan Ibnu Hibban, shahih)
2. Bertasbih atau bertepuk tangan (bagi wanita) apa-bila terjadi sesuatu hal, seperti ingin menegur imam yang lupa atau membimbing orang yang buta dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Barangsiapa terjadi padanya sesuatu dalam shalat, maka hendaklah bertasbih, sedangkan bertepuk tangan hanya untuk perempuan saja.” (Muttafaq ‘alaih)
3. Membunuh ular, kalajengking dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda RasulullahShallallaahu alaihi wasallam:
“Bunuhlah kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, shahih)
4. Mendorong orang yang melintas di hadapannya ketika shalat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) syaitan.” (Muttafaq ‘alaih)
5. Membalas dengan isyarat apabila ada yang me-ngajaknya bicara atau ada yang memberi salam kepadanya. Dasarnya ialah hadits Jabir bin Abdullah :
“Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata, ‘Telah mengutus-ku Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalat di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalatnya beliau bersabda, ‘Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalat’.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar, dari Shuhaib , ia berkata: “Aku telah melewati Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ketika beliau sedang shalat, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat.” Berkata Ibnu Umar: “Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan selain mereka, hadits shahih)
Dari sini dapat kita ketahui, bahwa isyarat itu terkadang dengan tangan atau dengan anggukan kepala atau dengan jari.
6. Menggendong bayi ketika shalat. Hal ini berdasar-kan hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam:
“Dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata, ‘Aku melihat Nabi Shallallaahu alaihi wasallam mengimami shalat sedangkan Umamah binti Abi Al-’Ash, yaitu anak Zainab putri Nabi Shallallaahu alaihi wasallam berada di pundak beliau. Apabila beliau ruku’, beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau.” (HR. Muslim)
7. Berjalan sedikit karena keperluan. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallaahhu anha:
“Dari Aisyah radhialaahu anha, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sedang shalat di dalam rumah, sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalatnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits hasan)
8. Melakukan gerakan ringan, seperti membetulkan shaf dengan mendorong seseorang ke depan atau menarik-nya ke belakang, menggeser makmum dari kiri ke kanan, membetulkan pakaian, berdehem ketika perlu, menggaruk badan dengan tangan, atau meletakkan tangan ke mulut ketika menguap. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
“Dari Ibnu Abbas , ia berkata, ‘Aku pernah menginap di (rumah) bibiku, Maimunah, tiba-tiba Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bangun di waktu malam mendirikan shalat, maka aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Read more »